![]() |
Sumber Gambar: Pixabay |
"Kalau kau tidak mampu membuat api di tungku untuk masak, itu artinya kau tidak bisa dan tidak siap jika kelak hidup susah. Bukan bermaksud menakuti, tetapi hidup pasti ada fase pasang surut. Jika sedang diberi kesusahan, bagaimana kau menghadapinya jika hal seperti ini pun tidak bisa melakukannya?"
Itulah nasihat yang lama kudengar dan sampai sekarang masih kuingat jelas. Biasa kudapatkan kata-kata itu saat gagal membuat api di tungku. Setelah mendengar omelan itu, aku akan berhenti menggerutu dan kembali berjuang menghidupkan api lagi. Dulu, saat orang-orang sudah beralih dari kompor minyak ke kompor gas, kami masih memakai tungku api. Buatan sendiri, amat sangat sederhana. Jadi, menghidupkan api di sana harus berjuang lebih keras.
Kita sering mendengar istilah 'dapur berasap', bukan? Nah, ini cocok banget buat kondisi dapurku dulu. Kalau asap membungbung dari dapurku, sudah pasti kami sedang memasak. Namun jika tidak ada asap, sudah pasti tidak ada api.
Menggunakan tungku ini
memang harus sabar dan telaten, karena tidak mudah menghidupkan api. Benar. Aku
sering mengomel karena sulitnya menaklukkan benda ini. Apalagi kita harus sedia
bahan bakar kayu setiap hari, dimulai dengan mencari kayu dan memotongnya
menjadi kecil-kecil.
Siap, deh, untuk mulai memasak.
Kesulitan lain dari memasak di tungku api adalah kita harus pintar menjaga besaran api. Kalau di kompor gas, kita tinggal kecilkan atau besarkan saja. Nah, kalau di tungku kita ambil sebagian kayu agar apinya mengecil atau tambahkan kayu lagi agar apinya membesar. Apalagi, nih, asap yang ditimbulkan dari tungku ini cukup mengganggu, menciptakan sawang di rumah dan menimbulkan aroma sangit pada benda-benda di rumah, terutama pakaian.
Selesai memasak, api harus dipastikan benar-benar mati, agar tidak memicu kebakaran. Dulu, kami biasa menaruh beberapa bawang merah atau putih di tumpukan bara. Saat bawang matang aromanya akan tercium tajam dan siap disantap. Rasanya enak. Ih, jadi kangen.
***
Posting Komentar
Posting Komentar